ETIKA PROFESI DAN MUTU AUDIT
KANTOR AKUNTAN PUBLIK
PENDAHULUAN
Semakin
tingginya tuntutan masyarakat akan informasi yang andal dari
perusahaan, membuat profesi akuntan publik semakin diperlukan. Walaupun
Arrens, dkk (2003:14) meyebutkan bahwa untuk memperoleh informasi yang
andal dari manajemen ada tiga alternatif yang bisa dilakukan yaitu (1)
Pengguna informasi menguji informasi yang diperolehnya, (2) Pengguna
informasi berbagi resiko informasi dengan manajemen, dan (3) Laporan
keuangan yang diaudit telah tersedia. Namun dengan pertimbangan
waktu dan biaya, serta sulitnya berbagi resiko dengan manajemen, maka
alternatif yang ketiga-lah yang mungkin untuk dilakukan.
Berprofesi
sebagai akuntan publik, profesionalisme merupakan syarat utama profesi
ini. Karena selain profesi yang bekerja atas kepercayaan masyarakat,
kontribusi akuntan publik terhadap ekonomi sangatlah besar. Kinney
(1975) dalam Suta dan Firmanzah (2006) mengatakan peran auditor untuk
meningkatkan kredibilitas dan reputasi perusahaan sangatlah besar.
Selain itu beberapa peneliti seperti Peursem (2005) melihat bahwa
auditor memainkan peranan penting dalam jaringan informasi di suatu
perusahaan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Gjesdal (1981) dalam Suta
dan Firmanzah (2006) juga mengatakan bahwa peranan utama auditor adalah
menyediakan informasi yang berguna untuk keperluan penyusunan kontrak
yang dilakukan oleh pemilik atau manajer perusahaan. Logika sederhananya
bahwa agar mesin perekonomian suatu negara dapat menyalurkan dana
masyarakat kedalam usaha-usaha produktif yang beroperasi secara efisien,
maka perlu disediakan informasi keuangan yang andal, yang memungkinkan
para investor untuk memutuskan kemana dana mereka akan di investasikan.
Untuk itu dibutuhkan akuntan publik sebagai penilai kewajaran informasi
yang disajikan manajemen. Jadi jelaslah bahwa begitu besarnya peran
akuntan publik dalam perekonomian, khususnya dalam lingkup perusahaan
menuntut profesi ini untuk selalu profesional serta taat pada etika dan
aturan yang berlaku.
Beranjak
dari itu semua, dewasa ini peran auditor telah menjadi pusat kajian dan
riset dikalangan kademisi. Tidak hanya itu, praktisi juga semakin
kritis dengan selalu menganalisa kontribusi apa yang telah diberikan
auditor. Hal tersebut sah-sah saja dilakuakan mengingat pentingnya peran
auditor. Apalagi auditor bisa dibilang sebagai pihak kepercayaan
masyarakat (investor) dalam memastikan informasi yang andal. Jadi wajar
rasanya jika masyarakat turut mengawasi hasil pekerjaan auditor. Selain
itu beberapa tahun terakhir, terutama sejak runtuhnya beberapa
perusahaan raksasa dunia, profesi akuntan publik banyak mendapat sorotan
dan kritikan dari masyarakat. Akuntan publik menjadi salah satu
kandidat penyebab runtuhnya perusahaan tersebut.
Artikel
ini akan memaparkan bagaimana etika profesi itu sebenarnya? Apa yang
sudah dilakukan organisasi profesi serta para akuntan publik? Kaitan
antara etika profesi terhadap kualitas audit kantor akuntan publik,
serta beberapa fenomena yang selama ini terjadi dilapangan.
ETIKA PROFESI : Konsep dan Aturan?
Pada
tanggal 23 Desember 1957 bertempat di aula Universitas Indonesia
tepatnya pukul 19.30 wib dibentuklah suatu wadah untuk menampung para
akuntan Indonesia yang dikenal dengan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).
IAI terdiri dari empat kompartemen yang salah satunya adalah Kompartemen
Akuntan Publik. Kompartemen Akuntan Publik merupakan wadah untuk
menmpung para akuntan yang berpraktek dalam profesi akuntan publik.
Didalam Kompartemen Akuntan Publik dibentuk badan yang bertanggung jawab
untuk menyusun standar yang digunakan akuntan publik dalam penyediaan
jasanya pada masyarakat. Badan penyusun standar (standars setting body) ini dikenal dengan Dewan Standar Profesional Akuntan Publik.
Selain
SPAP, organisasi profesi juga mengeluarkan aturan lain yang salah
satunya adalah etika profesional. Dasar pikiran yang melandasi
penyusunan etika profesional adalah kebutuhan profesi akan kepercayaan
masyarakat terhadap mutu audit yang diberikan profesi. Masyarakat akan
sangat menghargai profesi yang menerapkan standar mutu tinggi terhadap
pelaksanaan pekerjaan anggota profesi, karena dengan demikian masyarakat
akan merasa terjamin untuk memperoleh jasa yang dapat diandalkan dari
profesi yang bersangkutan. Kepercayaan masyarakat terhadap mutu audit
akan menjadi lebih tinggi jika profesi akuntan publik menerapkan standar
mutu yang tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan audit yang dilakukan
oleh anggota profesi tersebut (Mulyadi:2002).
Sebelum
tahun 1986, etika profesional yang dikeluarkan IAI diberi nama Kode
Etik Ikatan Akuntan Indonesia. Namun dalam kongres tahun 1986, etika
profesi ini diubah menjadi Kode Etik Akuntan Indonesia. Tahun 1998
hingga sekarang nama tersebut kembali diubah menjadi Kode Etik Ikatan
Akuntan Indonesia. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia terdiri dari
delapan prinsip etika yang berlaku bagi seluruh anggota IAI. Kedelapan
prinsip tersebut adalah Tanggung Jawab Profesi, Kepentingan Publik,
Integritas, Objektivitas, Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional,
Kerahasiaan, Prilaku Profesional, dan terakhir Standar Teknis.
Selain
delapan prinsip etika diatas, Kompartemen Akuntan Publik juga memiliki
aturan etika yang dikenal dengan aturan etika Kompartemen Akuntan Publik
yang merupakan penjabaran dari delapan prinsip etika IAI diatas. Secara
garis besar kerangka aturan etika Kompartemen Akuntan Publik adalah
sebagai berikut :
Seperti
yang telah disinggung diatas, Kompartemen Akuntan Publik juga memiliki
Dewan Standar Profesional Akuntan Publik. Dewan inilah yang bertugas
untuk mengeluarkan Standar Profesional Akuntan Publik. Berbagai jenis
jasa yang disediakan oleh profesi akuntan publik kepada masyarakat
didasarkan pada panduan yang tercantum dalam Standar Profesional Akuntan
Publik. Standar Profesional Akuntan Publik berupa buku yang berisi
kodifikasi berbagai standar dan aturan etika Kompartemen Akuntan Publik.
Ada lima macam tipe standar profesional yang diterbitkan oleh Dewan
sebagai aturan mutu pekerjaan akuntan publik : pertama, Standar Auditing; kedua, Standar Atestasi; ketiga, Standar Jasa Akuntansi dan riview; keempat, Standar Jasa Konsultasi; dan kelima, Standar Pengendalian Mutu.
Secara
wajar, penyusunan aturan etika profesional serta pembuatan standar
tersebut memang patut kita dukung. Sesuai dengan isi visi Ikatan Akuntan
Indonesia yaitu menjadi organisasi profesi terdepan dalam pengembangan
pengetahuan dan praktek akuntansi, manajemen bisnis dan publik, yang
berorientasi pada etika dan tanggungjawab sosial, serta lingkungan hidup
dalam perspektif nasional dan internasional. Kita semua berharap dan
juga yang diinginkan IAI, etika profesional tersebut merupakn konsep
sekaligus aturan yang wajib dilaksanakan oleh setiap anggota profesi.
Logikanya, jika sesuatu itu wajib maka pasti akan ada konsekuensi jika
yang bersangkutan tidak menjalankannya. Namun jika kita melihat fenomena
yang ada, etika profesional tersebut hanya sekedar konsep bukan aturan.
Artinya, walaupun IAI menetapkan etika profesional sebagai konsep
sekaligus aturan, banyak para anggota profesi yang menafsirkan itu hanya
sebagai konsep belaka. Dibawah ini akan diuraikan betapa aturan etika
hanya dianggap sebagai konsep bukan aturan.
PELANGGARAN ETIKA : Gosip atau Realita?
Hajatan
IAI menetapkan etika profesional sebagai aturan merupakan satu hal,
namun pelanggaran terhadap etika yang dilakukan anggota profesi
merupakan hal lain yang harus dipertimbangkan. Begitulah ungkapan
sederhana yang cocok untuk menyadarkan kita bersama. Seiring dengan
berkembangnya dunia usaha, semakin berkembang pula profesi akuntan
publik. Semakin tingginya kebutuhan masyarakat akan informasi yang
andal, semakin meningkat pula kebutuhan akan akuntan publik. Namun
sayang peningkatan kebutuhan tersebut tidak diikuti dengan peningkatan
etika dari profesi ini. Sesuatu yang menjadi “ujung tombak” profesi
dalam membangun kepercayaan masyarakat justru menjadi sesuatu yang tidak
dianggap. Kata-kata tersebut memang tidak berlebihan jika dilontarkan
pada profesi akuntan publik yang melakukan pelanggran kode etik.
Masih
segar dimemori kita kasus mega skandal beberapa perusahaan raksasa
Amerika. Salah satunya adalah pada pertengahan tahun 2002 perusahaan
energi terbesar Amerika, Enron Corp. Harga
sahamnya yang beberapa bulan sebelumnya mencapai puluhan dollar AS, dan
nilai perusahaannya yang mencapai 48 milyar dollar AS, kini nyaris tak
ada harganya. "Keuntungan-keuntungan" yang tertera dalam laporan
keuangan Enron beberapa tahun terakhir ternyata adalah kerugian-kerugian
yang didandani sedemikian rupa, dengan trik akuntansi yang canggih.
Kini, pemegang saham Enron yang mayoritasnya dipegang oleh publik siap
menuntut seluruh komponen yang dianggap bertanggungjawab terhadap
pengelolaan perusahaan tersebut, termasuk kantor akuntan publik Arthur
Andersen. Sulit dipercaya, skandal ini terjadi di Amerika, yang
mengklaim diri sebagai pelopor good corporate governance dengan
transparansinya, serta memiliki sistem audit dan pelaporan keuangan yang
canggih. Masih banyak kasus-kasus lain yang melibatkan profesi akuntan
publik didalamnya. Kalau di Amerika, yang sudah sangat maju saja, bisa
terjadi penyimpangan informasi publik oleh kalangan akuntan yang begitu
parah, bagaimana pula dengan Indonesia?
Kasus
yang mirip walaupun tidak sama dengan Enron, Corp. diatas juga telah
terjadi di Indonesia. Kita lihat ketika 10 KAP mengaudit 38 Bank Beku
Kegiatan Usaha. Jika kita lihat kembali opini yang dikeluarkan oleh 10
KAP tersebut, membuat kita tidak percaya dengan kebangkrutan bank
tersebut. Sekedar mengingatkan, ketika itu opin yang dikeluarkan oleh
KAP tersebut adalah wajar tanpa pengecualian (unqualified). Sebagaimana kita ketahui bersama, unqualified merupakan
kriteria tertinggi opini yang dikeluarkan oleh auditor dan opini ini
juga yang paling diharapkan oleh perusahaan. Namun belakangan terbukti
bahwa kondisi bank tersebut amburadul dan akhirnya terpaksa harus
dilikuidasi.
Soedarjono
yang merupakan mantan orang nomor satu di BPKP mengungkapkan bahwa
hasil audit akuntan publik terhadap perbankan yang sebelumnya tidak
ditemuukan apa-apa, tapi setelah masuk akuntan asing untuk memeriksa,
ditemukan segudang masalah (Media Akuntansi no. 1/Thn.1/1999). Dari
pernyataan Soedarjono tersebut nampak bahwa ketika akuntan asing
menemukan segudang masalah, sepertinya ada sesuatu yang tidak dimiliki
oleh akuntan kita dalam mengaudit.
Kritikan
tidak hanya berhenti sampai disitu. Menteri keuangan Republik Indonesia
Sri Mulyani juga angkat bicara. Beliau mengatakan bahwa pada saat ini
banyak sekali perusahaan yang mengeluarkan laporan keuangan ganda (dubble bookeping) dan akuntan publik yang memeriksa laporan keuangan ganda tersebut telah ikut melakukan kecurangan (Tempo;Desember 2006).
Kritikan-kritikan
tersebut mungkin sangat beralalasan, mengingat hal tersebut bukan-lah
suatu fenomena yang baru. Berikut adalah laporan dari Dewan Kehormatan
dan Pengurus Pusat IAI dalam kongres IAI, pelanggaran terhadap Kode Etik
mencakup sebagai berikut :
KONGRES KE (PERIODE)
|
PELANGGARAN KODE ETIK
|
V ( 1982-1986)
|
Publikasi, pelanggaran objektivitas dan komunikasi
|
VI (1986-1990)
|
Publikasi, pelanggaran objektivitas dan komunikasi
|
VII (1999-1994)
|
Standar teknis, komunikasi dan publikasi
|
VIII (1994-1998)
|
Objektivitas, komunikasi, publikasi, dan kerahasiaan
|
Sumber : Riyanti (1999) dalam Media Akuntansi.
Kritikan-kritikan
tersebut bisa benar dan bisa juga salah, tergantung cara kita
memahaminya. Seperti yang diungkapkan oleh beberapa akuntan yang pada
intinya merespon kritikan tersebut, bahwa masyarkat tidak mengerti
dengan begitu kompleksnya pekerjaan auditor sehingga tercipta expetation gap antara
akuntan publik dengan masyarakat. Kita bisa saja menapik setiap
kritikan tersebut. Para akuntan publik dan kita semua bisa saja
menganggap semua itu hanya gosip belaka. Namun melihat fenomena dan
fakta yang ada hal tersebut bisa saja realita yang terjadi dilapangan.
Namun terlepas dari itu semua, nampaknya akuntan publik khususnya IAI
sebagai lembaga yang mewadahi itu semua perlu berbenah diri. Karena
tidak ada insan yang sempurna didunia ini. Justru dengan kritikan lah
kita bisa lebih mengarah pada kesempurnaan walaupun itu mustahil adanya.
Ketika
Amerika digoyahkan dengan tumbangnya beberapa perusahaan terbesarnya,
negara ini langsung berbenah diri. Ini terlihat dengan diterbitkannya
suatu aturan yang dikenal dengan Sarbanes-Oxley Act (Sarbox). Aturan ini
juga berdampak pada perubahan beberapa standar auditing Amerika yang
salah satunya penggantian SAS No. 82 dengan SAS No. 99 yang pada intinya
menekankan kewajiban auditor seperti yang dijelaskna dalam SAS No. 01.
Itu di Amerika. Lalu apa yang sudah dilakukan Indonesia khususnya IAI
dalam membenahi para anggotanya.
PEMBENAHAN DIRI : Geliat sang Penjaga Kepntingan Publik.
Ikatan
Akuntan Indonesia masih teringat dengan visi dan misinya. Ya, itulah
yang terjadi pada IAI. IAI tidak hanya berpangku tangan dalam menyikapi
fenomena “bandel”nya beberapa anggota Ikatan Akuntan Indonesia. Berbagai
upaya telah dilakukan IAI, mulai dari tingkat IAI secara keseluruhan
maupun tingkat Kompartemen.
Quality review dan compliance review yang
diterapkan oleh organisasi profesi (IAI-KAP) maupun Direktorat
Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai (DPAJP) merupakan salah satu langkah
IAI untuk meningkatkan kualitas profesi akuntan publik. Langkah ini
disambut baik anggota profesi dan mudah-mudahan mendorong praktik
akuntan publik akan semakin lebih baik. Quality review oleh
IAI-KAP diarahkan untuk memberikan konsultasi perbaikan dan peningkatan
mutu kertas kerja akuntan publik dan Standar Pengendalian Mutunya. Compliance review dari
Direktorat Pembinaan Akuntan dan Jasa Penilai (DPAJP) melalui Sub
Direktorat Pemeriksaan Akuntan Publik diarahkan untuk memeriksa
kepatuhan yang bisa mengarah ke sanksi atas pelanggaran yang dilakukan.
Sebelumnya, penilaian mutu KAP dilakukan oleh BPKP. Namun karena
kurangnya respon dari organisasi profesi dan kalangan anggota profesi,
maka hal tersebut dilakukan perubahan.
Upaya
perbaikan etika dan profesionalisme akuntan publik tidak hanya
dilakukan oleh profesi itu sendiri. Pemerintah melalui Departemen
Keuangan saat ini telah merampungkan RUU AP. Menurut penulis, inilah
yang bakal menjadi “tameng” dalam penegakan kode etik profesi. Jika
dilihat dari draft RUU AP tersebut, sanksi terhadap Kantor Akuntan
Publik dan Akuntan Publik sangat terlihat gregetnya. Bayangkan saja
ketika akuntan publik melakukan pelanggaran maka akan dikenakan sanksi
pidana kurungan sekurang-kurangnya 1 tahun dan selama-lamanya 6 tahun
dan denda sekurang-kurangnya 50 juta dan sebesar-besarnya 300 juta.
Sedangkan KAP dikenakan sanksi pidana sekurang-kurangnya 100 juta dan
sebesar-besarnya 2,5 Milyar.
Satu
hal yang menjadi pertimbangan kita bahwa sampai saat ini RUU AP ini
masih kontroversial. Sebagian besar akuntan publik sangat menolak
beberapa pasal dalam RUU tersebut, terutama pasal yang berkaitan dengan
saknsi pidana dan rotasi Kantor Akuntan Publik. Ahmadi Hadibroto, ketua
DPN IAI dalam kongres luar biasa IAI 2007 mengatakan IAI akan menentang
habis-habisan draft RUU tersebut. Ia juga mengatakan bahwa RUU tersebut
bukannya membantu profesi akuntan publik malah akan merusak profesi
akuntan itu sendiri. Pernyataan Ahmadi tersebut juga didukung oleh Tia
Adityasih, ketua Kompartemen Akuntan Publik DPN (Sekarang IAPI). Beliau
mengatakan aturan tersebut terlalu memberatkan dan merugikan akuntan
publik sebagai sebuah profesi. Tragisnya,
permintaan IAI tersebut tetap ditolak mentah-mentah oleh Departemen
Keuangan (Depkeu) sebagai regulator yang disiapkan pemerintah untuk
menyusun RUU ini, tanpa alasan yang jelas. Direktur Informasi dan
Akuntansi Depkeu, Hekinus Manao menyatakan, sanksi pidana diberikan
supaya kelompok masyarakat yang bernama profesi audit itu harus memiliki
tanggung jawab yang jelas, termasuk tanggung jawab keadilan bila
akuntan publik tersebut berlaku tidak adil.
Mungkin
inilah salah satu alasan mengapa hingga sekarang RUU AP ini belum
disahkan menjadi Undang-undang Akuntan Publik. Memang jika dilihat dari
sisi akuntan publik, RUU AP ini begitu mengancam profesi ini. Karena
menurut beberapa alasan yang beredar bahwa jika kita telaah sanksi yang
diatur dalam RUU tersebut tidak sebanding dengan tanggung jawab yang
yang diemban oleh akuntan publik itu sendiri. Namun jika kita lihat dari
sisi masyarakat (shareholders dan debtholders), maka RUU
AP ini tentunya bisa melindungi elemen masyarakat tersebut. Pertimbangan
lainnya pentingnya UU AP ini mengingat besarnya peranan akuntan publik
dalam perekonomian suatu bangsa. Oleh karena itu, hal yang menjadi
syarat utama profesi ini adalah etika. Karena dengan etika lah ia bisa
menjalankan perannya dengan baik.
Hal
tersebut diats senada dengan ucapan wakil presiden Jusuf Kalla ketika
membuka Kongres Luar Biasa IAI 22-23 Mei 2007 yang lalu. Menurut beliau,
bisnis akuntan publik merupakan bagian dari kepercayaan. Kepercayaan
tersebut tidak hanya tercermin dalam segi bisnis saja, tapi juga bidang
yang lain. Dalam sambutannya beliau mengatakan, “saya
sebagai wakil presiden atau presiden tidak bisa menjadi presiden, wakil
presiden tanpa tanda tangan anda (akuntan), karena salah satu syaratnya
ialah satu hari atau dua minggu setelah kampanye harus ada bukti dari
akuntan bahwa biaya kampanye anda (capres) legal”. Oleh karena itu,
terkait dana DKP yang saat ini sedang menggema, Wapres mengatakan bahwa
jika dia
dipecat sebagai wapres, maka dia juga meminta agar akuntan yang
mengaudit laporan dana kampanye-nya juga dipecat. Dari sini kita bisa
melihat begitu besarnya peranan akuntan publik dalam suatu Negara. Ia
tidak hanya sebagai “pemberi tanda tangan peng-legalan” tapi juga
dijadikan “tameng” bagi mereka yang mendapat restu akuntan publik.
Inilah sebenarnya alasan mengapa etika dan keprofesioanalan sangat
dituntut dalam profesi akuntan publik mengingat profesi ini adalah suatu
profesi keprcayaan publik.
HUBUNGAN ETIKA DENGAN MUTU AUDIT
Jika
ada yang bertanya apa sebenarnya hubungan etika profesi dengan mutu
audit kantor akuntan publik? Satu-satunya jawaban yang sederhana adalah
etika dan mutu audit sangat berhubungan positif. Ada pepatah mengatakan “jika anda ingin membuat sate kambing hal utama yang anda butuhkan adalah kambing”.
Begitu juga dengan akuntan publik, jika anda ingin dipercaya sebagai
profesi yang bertanggung jawab, hal utama yang anda butuhkan adalah
etika”. Sebagai profesi keprcayaan dan mengingat pentingnya peran
akuntan publik dalam suatu negara, maka etika adalah kebutuhan pokok
yang tidak bisa di negosiaikan lagi.
Persoalan
profesional tidak bisa diukur dengan cara melakukan pekerjaan dan
hasilnya. Jika dalam melakukan pekerjaannya dengan cara yang tidak etis
dan tidak bermoral, walaupun hasilnya sesuai dengan rencana, akan
menjadi tidak baik nilainya. Didalam keprofesionalan banyak
keharusan-keharusan yang mesti dipenuhi. Budiman (2001a) mengungkapkan
keharusan dalam profesional itu diantaranya harus kompeten, harus bijak,
harus jujur, harus kredibel, harus bermoral baik, harus objektif, harus
transparan, dan keharusan lainnya. Repotnya pertandingan antara
pemenuhan keharusan dan pemenuhan target keuangan menjadi dilema.
Sehingga sering menggoda kekuatan moral para profesional. Maka perusakan
dari dalam terus terjadi. Yang paling parahnya lagi pemenuhan target
keuangan sering menjadi pemenang. Sehingga tidak heran jika saat ini
kaum profesional, khususnya akuntan publik paling banyak mendapat
sorotan.
Seperti
yang telah disinggung diatas bahwa alasan utama mengapa diperlukan
atika profesi karena akuntan publik merupakan bisnis kepercayaan. Lalu
apa hubungannya dengan mutu audit? Walaupun kita tahu bahwa mutu audit
dipengaruhi oleh berbagai faktor, namun semua faktor tersebut tidak bisa
terlepas dari etika. DeAngelo (1981) dan Antle (1984) dalam Suta dan
Firmanzah (2006) menyebutkan bahwa kompetensi dan kebebasan (independen)
sangat menentukan kualitas auditor. Sari (2005) dalam penelitiannya
mengungkapkan bahwa keahlian auditor berhubungan positif dengan
pengungkapan kecurangan laporan keuangan. Namun menurut penulis, kesemua
faktor tersebut tidak akan berjalan tanpa adanya etika dari akuntan
publik sendiri. Kita sangat menghargai akuntan publik yang memiliki
kompetensi, keahlian, dan independensi. Namun tanpa adanya etika yang
baik (sound practice) dari akuntan publiknya, semua faktor tersebut tidak akan berjalan.
SUMBER :
http://anthoex.multiply.com/journal/item/1http://etikaauditor.blogspot.com/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar